Kami...
Abah, Mama, Aku, dan dua ading
(re : adik) laki-lakiku.
Aku anak pertama yang tahu benar bagaimana orangtuaku
hidup bersama dari titik nol sejak awal pernikahan mereka. Tinggal di sebuah
rumah bertingkat dua yang sangat layak huni kala era 90-an, sekedar informasi
rumah itu bukan milik kami, tapi rumah pinjaman dari adik nenek ku yang baik
hati. Benar-benar baik hati, Saat kami bertempat di rumah itu, mereka tidak
pernah memungut bayaran dan mengungkit-ungkitnya. Bagaimana Abah Mama tidak
merasa terbantu karena kala itu ekonomi kami memang masih sangat minim. Rumah
itu terbuat dari ulin yang kini sudah tak ada lagi karena hangus terbakar.
Hingga kini rumah itu tinggal puing. Namun bukan puing biasa, disana aku
tumbuh, disana aku menikmati masa kecilku. Aku masih ingat di atas loteng yang
jarang ditiduri, aku sering mengajak teman-teman sekampung main hotel-hotelan
dan masak-masakan. :D
Aku tidak pernah lupa pula, dalam
memenuhi kehidupan sehari-hari, mama harus bekerja keras membantu abah mencari
nafkah untuk keperluan kami sehari-hari. Masih ingat kala setiap jam 2 malam,
mama menyiapkan nasi-nasi bungkus untuk diecerkan di sekolah-sekolah. Masih
ingat pula setelah habis magrib mama membungkus ‘es kero’ dan ‘es wadai’ yang keesokan paginya harus
dijajakan dan dititipkan di warung-warung. Dulu aku juga disuruh menjajakan,
pernah aku merasa malu. Malu berjualan es diantara teman-temanku yang dengan
gampangnya belanja ini itu diwarung pojok sekolah. Sedangkan aku, belanja satu
kali pun sudah syukur.(bersambung)